Photos in the Ceiling
“Itu punya Ku Kyle!!!”
“Tidak Itu Punyaku, kau sudah dapat lebih banyak!!”
“HENTIKANNNN!!!” teriakku menghentikan pertengkaran yang kecil tapi tak selesai-selesai dari tadi. Ya dua orang aneh yang mengklaim diri mereka sebagai temanku, mereka Kyle dan Megan. Sejak istirahat tadi memperebutkan makanan yang kubeli dari kantin sekolah. Dan itu membuatku lelah mendengar cekcok mereka yang sepertinya takkan berakhir.
“Tapi Chris, Kyle sudah makan yang ini dari tadi” kata Meg sambil mengangkat sebungkus makanan yang aku pun tak tahu apa enaknya hingga diperebutkan seperti itu.
“enak saja aku makan yang ini dari tadi karena kau makan yang ‘itu’ saja dan tidak mau membiarkan-ku mencicipinya. Jangan mengadu domba kepada Chris” sergah Kyle sambil menunjuk sekumpulan sampah bungkus makanan yang dimakan Meg.
Aku semakin bingung. Cekcok mereka kembali berdengung di telingaku, dan seakan telinga ku memanas dan kepalaku sesak karena penuh dengan cekcok mereka yang tidak jelas bahkan tak ku mengerti.
“SUUDAH!!!! CUKUP!!!!´teriakku membuat siswa lain dikelas kami menatap bingung dan kaget kearahku. Aku pun kaget sendiri dengan keadaan itu, sehingga tanganku bergerak sendiri menarik Kyle dan Megan keluar dari kelas. Aku mernarik mereka hingga tiba di kantin sekolah. Setelah menarik napas lega sedikit sekarang aku dapat melihat wajah kedua temanku ini terlihat bingung.
“kenapa Chris?” tanya Kyle dengan muka bingungnya.
“ah tidak apa-apa” jawabku juga bingung. Ada apa denganku.
“maaf, Chris kau pasti marah karena aku dan Kyle mempermasalahkan makanan tadi ya” tanya Megan sedikit membuatku ingat.
“haha. Meg, meg. Chris tak mungkin marah hanya karena masalah seperti itu” kata Kyle.
Ya. Aku tak mungkin marah hanya karena hal seperti itu. Aku semakin bingung dengan apa yang terjadi padaku saat itu. Setelah menenangkan diri, aku mengajak kedua orang itu kembali ke kelas. Entah kenapa perasaan ku seharian itu sangat tidak enak membuatku malas untuk belajar saat jam terakhir hari itu. Akhirnya kuputuskan untuk tidur saja di jam pelajaran terakhir. Mataku mulai tertutup dan aku mulai terlelap di tengah jam pelajaran berlangsung.
“CHRISSS DYLAAAAAAN!!! BERDIRI!” Tiba-tiba aku dikejutkan dengan gelegar suara Miss. Eve yang mengejutkanku dari lelapku. Sigap, aku langsung berdiri tegap dengan mata terbelalak menatap Miss. Eve.
“kau tidur Chris?” tanya Miss. Eve menyelidik.
“Tidak Miss” jawabku mencoba berbohong. Dalam hatiku aku berpikir, untuk apa lagi Wanita ini bertanya apakah aku tidur saat memang terlihat jelas aku tidur.
“o, jadi kau tidak tidur? Hm, kalau begitu dapatkah aku bertanya, apa arti dari Ressentiments bagi orang Prancis?”
“perasaan benci dan iri, Miss” jawabku singkat.
“wah ternyata kau belajar dalam tidurmu ya” sindirnya diikuti dengan senyum puas.
“duduklah dan jangan tidur di jam pelajaranku” tegasnya lagi.
Akupun duduk menopang daguku mebolak balik halaman-halaman bukuku.
“belajar sambil tidur huh?” sindir Kyle sambil cekikikan disebelahku.
“Damn, terserah kau lah” kataku kesal melihat mukanya.
“Belajar sambil tidur memiliki makna yang berbeda dengan belajar dalam Tidur, Kyle. Ada apa lagi Kyle” sergah Miss. Eve diikuti dengan ceramahnya
“tidak apa-apa Miss” jawabnya. Orang aneh. Bel sekolah pun berbunyi beberapa saat setelah semua itu. Dengan segera kubereskan buku-bukuku dan melangkahkan kaki ke luar. Tiba-tiba Kyle memanggilku.
“Chris, kau mau ikut kami bermain baseball sore nanti?” tanya nya. Tiba-tiba terlintas kejadian 3 tahun lalu.
“maaf, sepertinya tidak. Terima kasih” jawabku pelan. Kyle hanya menatapku heran. Aku dapat melihat itu dimukanya. Aku tidak ingin berlama-lama lagi hanya untuk ditanyai apa alasanku. Aku pun melangkah dengan cepat menuju gerbang sekolah meninggalkan Kyle yang menatapku dari kejauhan. Saat sampai di gerbang kurasa telepon genggam ku bergetar. Kulihat pesan singkat dari orang tuaku.
“kami pulang terlambat. Makanan tinggal dipanaskan.” Begitu isinya.
Sangat tidak biasa mereka memberitahuku jika mereka akan pulang terlambat. Masih dengan perasaan tidak enak aku berlari menuju rumah. Jarak Rumahku ke sekolah sekitar 2 kilometer. Bukan jarak yang jauh untuk ditempuh menggunakkan kaki. Sesampainya aku di pagar rumah, kudengar suara motor Daren dari belakang. Aku membuka pintu pagar dan melangkah masuk tanpa menghiraukan Daren, sudah biasa. Aku masuk dan langsung menuju kamarku. Saat menaiki tangga aku melakukannya seperti biasa melangkahi, 2 anak tangga sekaligus, agar aku tidak perlu bertemu Daren. Masuk ke kamar, kukunci pintu kamarku, kulonggarkan dasi seragamku. Dan merebahkan tubuhku diatas tempat tidurku. Aku tidak tau mungkin cukup lama aku menatap langit-langit kamar ku yang penuh dengan Foto-foto ku dengan Daren, dan di antara begitu banyak foto, mataku berhenti di satu foto, foto kami berempat, Aku, Daren dan kedua orang tua kami, pose tiga orang didalm foto itu terlihat penuh kebohongan. Kuingat-ingat Aku dan Daren lah yang menempel foto-foto itu 5 tahun lalu sambil tertawa-tawa. Entah apa yang merasukiku, aku berpikir “Foto di langit-langit? Sunguh konyol!! Foto-foto itu tidak berguna!! Hanya membuat hatiku sakit”
Aku berdiri, mencabuti semua foto di langit-langit kamarku sambil menangis. Dasar Cengeng, kataku dalam hati kepada diriku sendiri. Kumasukan semua Foto-foto itu ke dalam karton, dan melemparkan karton itu ke samping meja belajarku lalu menghempaskan tubuhku ke kasur, menenangkan diriku. Setelah agak tenang, aku keluar dari kamarku dan menuju ke dapur untuk makan. Saat melintasi kamar Daren, kulihat pintu kamarnya terbuka sedikit dan ia seperti sedang kebingungan mencari-cari sesuatu. Ku tinggalkan, dan berlalu menuju dapur. Mengambil susu dari kulkas dan menuangkannya ke gelas kecil. Aku tidak pernah berminat makan, makanan yang ada dirumah ini. Setelah sedikit mengisi kekosongan perutku, aku hendak kembali ke kamar tetapi kudengar Daren berteriak dari atas.
“Chris!! Kenapa ini!!” teriaknya dari atas. Aku kaget, jangan-jangan... dengan secepat angin aku berlari menuju keatas, dari bawah kulihat pintu kamarku terbuka. Saat sampai di ambang pintu kulihat Daren terpaku di depan karton tempat aku membuang Foto-foto tadi.
“Kenapa Chris? Apa yang terjadi?” tanyanya dengan suara bergetar. Aku hanya diam, tidak ingin menjawab.
“apa? Kau mau marah? Marah saja?” kataku datar.
“tidak! Chris kenapa kau mencabu...” sebelum kalimat itu selesai aku berlari keluar dari kamarku.saat aku menyusuri tangga sambil berlari, Daren menahan tanganku, aku kehilangan keseimbanganku. Aku merasa kehilangan pijakan. Sesaat sebelum menyentuh tanah aku menoleh melihat Daren, tapi aku tak melihatnya. Ia berada di bawahku melindungiku. Aku jatuh di atasnya. Dengan segera aku bangun dan melihat Daren yang masih terbaring. Kepalanya berdarah!
“GAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA” aku berteriak marah melihatnya yang terbaring dengan kepala berdarah. Aku berlari mencari kotak P3K, aku membongkar lemari di kamar mandi sambil menangis. Saat menemukannya aku berlari ke Daren dan menghentikan pendarahannya. Sambil menangis.
“sudah, Chris, jangan menangis, agh!! Ti..dak apa-apa” ia berusaha menenangkan dan meyakinkanku. Aku tidak peduli lagi dengan apa yang dikatakannya. Setelah selesai mengobati luka di kepalanya. Aku berlalu meninggalkannya, mengembalikan kotak P3K. Dan segera naik ke kamarku meninggalkan Daren di bawah.
“Chris...” Daren Mengetuk pintu kamarku. Aku tidak ingin menjawabnya. Kepalaku penuh dengan bayang-bayang akan kemarahan orang tuaku nanti saat mereka pulang dan mendapati Daren terluka. Membayangkan itu saja rasanya air mataku sudah sampai di pelupuk mata.
“Chris... boleh aku masuk” Daren membujukku. Aku tetap tidak menjawabnya, tapi Daren tetap memanggilku dari luar. Aku tidak ingin dia melihatku.
Setelah beberapa saat, kurasa Daren sepertinya sudah tidak lagi di depan kamarku. Aku bangun dari tempat tdurku dan berjalan menuju meja belajarku. Bukan. Bukan untuk belajar tapi untuk bersiap-siap menanti orang tuaku. Entah berapa lama, aku duduk sambil menutupi mukaku. Aku melirik ke jam dinding, sudah tengah malam, orang tuaku belum pulang juga. akujadi semakin ketakutan. Tak beberapa lama setelah itu, aku dengar suara mobil ayah dan ibuku. Bulu kudukku berdiri, aku gemetaran, tapi aku tidak tau kenapa sudah setengah jam sejak kepulangan mereka, sejak setengah jam aku menunggu mereka memanggilku untuk dimarahi, tapi aku tidak juga dipanggil-panggil.
Sambil diliputi berbagai macam perasaan aku mencoba memberanikan diri untuk keluar dari kamar. Kulangkahkan kakiku perlahan, saat kutengok kebawah, tidak ada siapa-siapa di bawah. Orang tuaku sejak pulang tadi ternyata langsung tidur. Dalam hati aku sedikit bersyukur aku tidak perlu menghadapi mereka malam ini dan ada kemungkinan aku bisa meloloskan diri lagi nanti pagi. Setelah memastikan keadaan aku kembali kekamarku, langkahku terhenti didepan tumpukan foto di dalam kardus, yang kucabut tadi siang. Aku terduduk di depan foto-foto itu. Kuraih tumpukkan foto itu, dan kuperhatikan sekali lagi. Semua ini gara-gara foto-foto sialan ini. Umpatku dalam hati.
Menempel foto atau foto dilangit-langit hanyalah sesuatu yang konyol. Tidak masuk akal dan membawa kesialan. Tidak berguna. Segala macam umpatan beradu di hatiku. Semalaman penuh di hari itu aku tidak tidur dan hanya duduk didepan tumpukan foto tersebut. Foto-foto di Langit-langit.
0 komentar:
Posting Komentar