Senin, 01 Agustus 2011

The Begining (ME PART I)


Aku adalah seorang siswa sekolah biasa yang selama 6 tahun menempuh sekolah dasar tanpa satupun pengalaman yang istimewa. Hari-hari disekolah kulalui dengan sangat Monoton. Datang ke sekolah mendengarkan pelajaran, menjawab pertanyaan guru, membantu teman mengerjakan PR dan Tugas dan beberapa hal yang sangat biasa dan membosankan. Jika dibilang aku adalah murid kesayangan Guru maka boleh dikatakan “ya, aku murid kesayangan guru”. Aku tak pernah melawan apa yang mereka katakan. Selalu menjadi anak manis itulah aku. Aku tidak mau terlalu mencolok di hadapan mereka seperti Daren, kakakku yang sangat mencolok..menurutku.
Kakakku, dia... menurutku orang yang sempurna. menurutku. Ia pintar, mudah bergaul, dekat dengan semua orang dan yang paling membuatku iri adalah, dia adalah anak kesayangan orang tuaku. Kami hanya berdua. Ya, maksudku kami hanya dua bersaudara, aku dan kakakku yang hebat itu. Aku tidak mencemoohnya dengan kata hebat.  Hanya saja, jika dibandingkan dengan saudaranya yang seperti ini sudah pasti dia yang hebat. Iri? Ya terkadang aku iri padanya tapi aku selalu merasa bersalah setelah sadar dari pikiran iriku terhadapnya.
Perbandingan antara aku dan kakakku menurutku sangatlah jauh. Perkenankan aku memperkenalkan diriku yang menyedihkan ini. Namaku Chris anak ke-2 dari Ayah dan ibuku sesuai yang kuketahui. Aku anak yang tidak enak diajak berteman, Daren pernah berkata aku anak yang jarang berbicara. Tapi menurutku untuk apa membuang-buang tenaga hanya untuk mengeluarkan Suara dan kata-kata yang tidak penting. Aku sering benci melihat tubuhku, menurutku aku kurus dibandingkan dengan Daren, ya aku terlalu kurus untuk badanku yang tinggi. Aku selalu melihat diriku sebagai sebatang lidi atau tiang listrik setiap kali berdiri didepan kaca. Otakku tidaklah luar biasa seperti anak-anak cerdas yang mendapat beasiswa Robotika. Peringkat terbagusku selama di SD adalah peringkat 2. Aku sama sekali tak menginginkan berada di posisi itu. Dan posisiku didalam keluarga..... aku jadi malas membicarakannya, aku mempunyai seorang Kakak yang telah aku sebutkan sebelumnya, namanya Daren. Ia sangat baik kepadaku, dan aku menyayanginya.
Sejak kecil kami selalu bersama, jarak antara kami 3 tahun. Seperti yang kubilang, kami selalu bersama, bukan orang tua kami yang menjadikan kami seperti itu. Entah kenapa sejak aku bisa mengingat yang kuingat adalah Daren. Ia selalu bersamaku. Kemanapun aku pergi, aku ingat ia selalu berdiri disampingku. Orang-orang disekitar kami yang sering melihat kami bersama sering berkata bahwa akulah yang mengikuti Daren, aku terlalu sering mengekorinya. Begitu pendapat mereka. Aku ingat, pernah aku dan Daren bermain disebuah taman, Daren mengajakku. Dia bilang ingin mengajariku cara bermain baseball. Kami bermain cukup lama. Aku juga senang saat itu sangat senang. Aku berlari, menangkap, memukul seperti yang diajari oleh Daren dan saat aku tengah berlari mengejar bola pukulannya aku terjatuh. Lututku berdarah. Daren langsung menghampiriku saat itu. Karena melihatku menangis ia menggendongku pulang ke rumah. Sesampainya di rumah orang tua-ku yang kaget melihatku menangis dan Daren yang menggendongku. Mereka marah—aku tidak tahu apakah aku yang dimarahi atau Daren. Tapi ada yang kuingat, kata-kata mereka kepadaku. Kata-kata aneh yang membuatku hati dan kepalaku terasa mau pecah pada saat itu.
“Jangan mengekori Daren terus! Kau merepotkannya! Dia bukan pembantumu!!” begitu kata mereka. Siapa yang mengekori Daren? Aku tidak pernah memintanya bermain dengan-ku, aku tidak pernah memintanya menemaniku, dan aku tidak pernah mengekorinya!. Tapi kenapa aku yang dimarah? Toh aku yang terluka. Sejak saat itu aku selalu berusaha sendiri tanpa bantuan dari Daren. Aku tidak ingin dikatai seperti waktu itu. Dan setelah kejadian tersebut perlahan aku mulai keras terhadap diriku sendiri. Aku menolak semua ajakan Daren untuk bermain bersama- - dan Aku mulai berusaha tidak membiarkan diriku dimanja oleh Daren. Yah seolah-olah aku mulai menyiksa diriku sendiri. Misalnya, pada saat dimarahi oleh kedua orang tuaku aku tidak lagi menangis pada Daren melainkan aku akan pergi dan menangis ditempat aku tidak akan terlihat. Saat aku merasa sedih karena melihat perbedaan antara perlakuan orang tua kami terhadap aku dan Daren, aku akan berdiri di balkon membelalakan mata ke langit agar tidak menangis dan berusaha melupakan hal tersebut. Dan terkadang aku menyalahkan diri sendiri akan sesuatu yang tidak aku buat. Semua itu kulakukan agar aku tidak menangis. Agar aku tidak terlihat lemah dihadapan orang.
Hari-hari kujalani seperti biasa kujalani, hanya sedikit yang berubah. Semuanya seperti itu hingga kelulusanku dari SD. Saat kelulusan aku hanya mendapat peringkat dua. Yah seperti biasa juga peringkat dua bukanlah hal yang spesial dimata orang tua-ku. Mereka datang terlambat pada saat acara kelulusan, tidak sempat mendengar sambutan yang telah kusiapkan. Mereka juga tidak sempat berdiri mendampingiku saat namaku dipanggil untuk maju. Saat teman-teman lain maju tepuk tangan orang tua merekalah yang paling keras, tapi pada saat namaku disebutkan aku tidak merasakan apa-apa. Senang, terharu, sedih, marah tidak sama sekali. Saat kami 5 besar maju keempat temanku didampingi oleh kedua orang tuanya, tapi aku berdiri didampingi oleh ibu guru-ku. Mungkin pada saat itu aku lebih senang jika seperti itu. Tidak ada mereka, orangtuaku dan tidak ada dia, kakakku yang sempurna.

0 komentar:

Posting Komentar